BUPATI BANYUWANGI DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA KORUPSI

BANYUWANGI-Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari, sejak Kamis lalu, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung.
Bupati wanita itu diduga terlibat dugaan korupsi pengadaan tanah untuk Lapangan Terbang (Lapter) Blimbingsari, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 19,7 miliar.
Bagi sebagian besar masyarakat di Banyuwangi, ditetapkannya Ratna sebagai salah satu tersangka kasus Lapter, membuat sosok istri Bupati Jembrana, Bali, Prof. DR, drg, I Gede Winasa ini semakin kontroversial. Kebijakan-kebijakannya yang dinilai terlalu berani serta isu tentang cara pengambilan kebijakan yang banyak dikendalikan oleh suaminya, mendorong orang semakin ingin tahu siapa Ratna sebenarnya.


Sebelum berhasil menduduki kursi Bupati melalui perebutan sengit Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banyuwangi tahun 2005, Ratna tercatat sebagai anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jembrana, Bali. Kemunculan Ratna sebagai salah satu bakal calon (Balon) bupati waktu itu, cukup mengagetkan masyarakat. Ratna yang nyaris tidak dikenal oleh masyarakat Banyuwangi saat itu, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang cukup fenomenal setelah berhasil menyingkirkan empat pasangan calon bupati lain yang rata-rata sudah dikenal luas masyarakat.

Ratna yang awalnya sempat memenangkan konvensi calon bupati dari PDIP Banyuwangi ini akhirnya harus banting stir mencari “kendaraan lain” setelah secara kontroversial tersingkir di tingkat provinsi. Wanita kelahiran Banten yang pernah beberapa tahun tinggal di Banyuwangi itu kemudian memilih Aliansi Partai Non Parlemen (APNP) atau yang sering disebut sebagai partai gurem, sebagai tumpangannya menuju P-1.

Dan ternyata Ratna berhasil melenggang ke kursi Bupati Banyuwangi hingga 2010 mendatang. Setelah tiga tahun memimpin Banyuwangi, kini banyak rintangan yang harus dihadapi wanita enerjik ini. Terakhir, kalangan DPRD dikabarkan bakal menggunakan hak interpelasi terkait terjadinya pembengkakan anggaran belanja modal pada APBD 2008 sebesar Rp 4,122 miliar. Terkait masalah ini, Wakil Ketua DPRD, Ir HM Eko Sukartono, mengatakan, DPRD akan menggunakan hak interpelasi untuk mendapat kejelasan masalah tersebut. “Kita tidak akan langsung dengan hak angket, tetapi melalui interpelasi dulu. Dan saat ini, sudah ada 8 orang anggota yang mengajukan penggunaan hak istimewa tersebut. Insya Allah, Minggu depan kita akan mulai menggelar Panmus untuk mempersiapkan pelaksanaannya,” jelas Eko.

Beberapa kebijakan Bupati Ratna Ani Lestari selama memimpin dinilai banyak pihak kontroversial. Antara lain, Instruksi Bupati Nomor 1/2005 tentang Penghentian Pungutan Bagi Orang Tua Siswa, Instruksi Bupati Nomor 2/2005 tentang Penghentian Pungutan Retribusi Pelayanan Kesehatan. Lalu keputusan Bupati Nomor 188/33/KEP/429.012/2006 tentang Standar Barang dan Harga Kebutuhan Pemkab Banyuwangi Tahun 2006.
Dalam surat keputusan Bupati Nomor 188 ini menjiplak dokumen serupa Kabupaten Jembrana, Bali dan mencantumkan standar satuan harga daging babi (suami Ratna adalah Bupati Jembrana, Red).

Kebijakan lain Bupati Ratna yang kontroversial adalah penghentian 32 kepala sekolah secara sepihak, kebijakan bantuan pendidikan dari APBD hanya diperuntukkan untuk lembaga pendidikan negeri.

Kebijakan ini mengancam sekolah swasta yang dikelola ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah. Kebijakan rencana pembuatan pabrik gula terbesar di Pulau Jawa yang lokasinya di Siliragung dengan nilai investasi Rp 700 miliar. Lalu, kebijakan penghentian operasional dua unit kapal Sritanjung dan terakhir instruksi kepada lurah/kepala desa agar melarang masyarakat melakukan istighotsah dan pengajian. Juga ketidakjelasan status agama Bupati Banyuwangi. Kebijakan terakhir ini dinilai para kiai menyinggung perasaan umat Islam setempat.

Dalam kasus ini, Ratna tak sendiri. Beberapa orang penting di Banyuwangi, juga diduga terlibat. Sebagai Ketua Tim Pengadaan Tanah Lapter periode 2006 – 2007, Ratna ditengarai turut bertanggung jawab atas kerugian negara sekitar Rp 19,76 miliar. Ratna juga dituding turut terlibat dalam penggelembungan harga tanah. "Dia meneruskan apa yang dilakukan bupati sebelumnya," ujar JAM Pidsus Kejagung, Marwan Effendy, kemarin.

Dua Pejabat Ditahan
Jaksa penyidik kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk Lapangan Terbang (Lapter) Blimbingsari, Jum’at (29/8) kemarin menahan dua tersangka lain yakni: mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi yang kini menjabat sebagai Kepala BPN Sangata, Kalimantan Timur, Ir Nawolo Prasetyo dan mantan Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Banyuwangi 2006, Drs Sudjiharto.

Penahanan terhadap Nawolo dilakukan sekitar pukul 10.30 WIB. Selang satu jam kemudian, ganti Sujiharto yang digiring menuju mobil tahanan untuk dititipkan di lambaga pemasyarakatan (Lapas) kelas II Banyuwangi. Mereka ditahan setelah diperiksa tim jaksa gabungan sejak pukul 08.00 WIB.

Sebelumnya, Kamis (29/8) lalu, tim jaksa juga menahan mantan Kepala Desa Pengantigan, Drs HM Effendi, yang disebut-sebut sebagai “pemeran utama” kasus yang merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah tersebut.

Ketua tim jaksa penyidik, Muhammad Anwar, mengatakan, kedua tersangka ditahan karena keterlibatannya dalam pembebasan tanah Lapter sehingga menyebabkan negara dirugikan sebesar Rp 41 miliar. Pada periode pembebasan tanah tahun 2002-2005, Nawolo Prasetyo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor BPN Banyuwangi, juga tercatat sebagai Wakil Ketua Panitia Pengadaan Tanah Lapter. Menurut Anwar, tersangka tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya yaitu melakukan sosialisasi, penyuluhan dan musyawarah dengan para pemilik tanah. Tersangka, katanya Anwar, justru melegalisir sertifikat lahan yang sudah ganti nama menjadi milik Effendi dan keluarganya. Sedangkan Sujiharto, selain sebagai Sekretaris Kabupaten tahun 2006 dia juga menjadi Wakil Ketua I Panitia Pengadaan Tanah Lapter. Sebagai Sekkab, Sujiharto dinilai paling bertanggungjawab dalam penganggaran dan persetujuan pencairan keuangan. Tersangka juga dianggap lalai melakukan pengawasan terhadap keuangan daerah. "Seandainya kedua tersangka melaksanakan tugasnya dengan baik, maka tidak akan ada kerugiaan negara," kata Anwar yang juga menjabat Kepala Subbidang Tindak Pidana Korupsi, Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Agung ini.

Menurut Anwar, proses pembebasan tanah untuk lahan Lapter ini menyimpang dari Pasal 10 dan pasal 15 Peraturan Presiden (Perpres) No 65/2006 tentang perubahan atas Perpres No 36/2005 dan Kepres No 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Untuk itu, tersangka bisa dijerat Pasal 2 dan 3 UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pasal 12 huruf i UU Tipikor tentang penyalahgunaan jabatan pemerintahan karena terlibat dalam pemborongan atau pengadaan jasa.

Atas penahanan kliennya ini, Kuasa Hukum Sudjiharto, Yun Suryotomo, menyatakan bahwa penahanan kliennya terlalu prematur. Menurutnya, pekan depan pihaknya akan mengajukan penangguhan penahanan dan mengadu ke Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). "Selama ini klien saya selalu kooperatif," ujar Yun.

Dengan ditahannya Nawolo dan Sudjiharto, berarti empat dari tujuh tersangka yang telah ditetapkan sudah berada di Lembaga Pemasyarakatan. Satu tersangka, mantan bupati Samsul Hadi, terlebih dulu telah mendekam dalam Lapas karena kasus pembeliaan galangan kapal fiktif senilai Rp 25,5 miliar.

PDIP : Hormati Proses Hukum
Sementara itu, pengurus DPD PDIP Jatim memilih bersikap bijak dengan penetapan Bupati Ratna sebagai tersangka korupsi Lapter di Banyuwangi. DPD PDIP belum bisa memberikan sanksi ataupun dukungan. “Memang teman-teman DPC PDIP Banyuwangi sudah konsultasi ke DPD, tapi kita tampung dulu,” jelas Kusnadi, Sekretaris DPD PDIP Jatim kemarin.
Untuk sementara, PDIP secara organisatoris mengikuti kehendak masyarakat Banyuwangi secara umum. Dengan tetap menghormati proses hukum yang berlaku. “Silakan proses hukum berjalan, soal kita dukung atau tidak, perlu dibahas lebih lanjut oleh partai,” tandasnya.

Ditambahkannya, terhadap pribadi Ratna seperti ini memang belum ada keputusan partai yang baru. Meski secara faktual dalam kepemimpinannya, Bupati Ratna banyak tidak melihat kaidah masyarakat dan kepartaian. “Kita pelajari dulu, bersama pengurus DPD dan DPC Banyuwangi, agar kejadian ini tidak menjadi preseden buruk bagi masyarakat dan juga partai,” paparnya. Untuk diketahui, Bupati Ratna merupakan kader tulen PDIP. Meski dalam pilkada Banyuwangi lalu, Ratna sempat mendaftar melalui PDIP tapi tidak direkom. Ia pun lantas lewat partai-partai gurem. Tindakan melenceng dari garis partai juga sempat terulang oleh suaminya saat maju sebagai calon Gubernur Bali tanpa menggunakan kendaraan PDIP. (Zen/sby)


No comments:

Write a Comment


Top